Sukanto
Tanoto (62 tahun), Pengusaha yang bergerak di berbagai aneka bisnis ini memiliki
kekayaan hingga mencapai US$2,8 miliar. Dia ada di peringkat 418 dunia.
Raja Sawit dan Pulp
Pria
kelahiran Belawan, Sumatera Utara, 25 Desember 1949, bernama asli Tan Kang Hoo,
ini seorang pengusaha Indonesia Keturunan Tionghoa yang telah sukses berinvestasi
di lebih 10 negara. Chairman dan CEO PT Raja Garuda Mas International dan
Komisaris Utama PT Inti Indorayon Utama, ini salah satu raja produsen minyak
kelapa sawit dan pulp and paper di dunia. Dalam kondisi sulit, saat pemerintah
mengambil kebijakan menaikkan harga minyak lebih 100%, Sukanto mengajak semua
komponen bangsa bisa bekerjasama dan fokus pada bidang masing-masing, terutama
supaya lapangan kerja tetap tertangani. Pengusaha tetap fokus pada bidang
usahanya dan pemerintah fakus mengupayakan efisiensi.
Perihal,
dia telah lebih sering tinggal di luar negeri, bahkan membuat markas pusatnya
di Singapura, Sukanto mengatakan bahwa hal itu bukan berarti pihaknya lari ke
luar negeri, melainkan berupaya mengembangkan pasar sampai ke luar negeri.”Kita
ingin buktikan bahwa pengusaha Indonedia tidak hanya jago kandang yang dapat
fasilitas dari pemerintah. Tapi kami juga bisa menaklukkan dunia, dan
kompetitor besar,” kata Sutanto .
Dia
memberi contoh, seperti Jepang. Toyota cari pasar di Indonesia dengan assembling
mobil. Apakah mereka itu lari ke Indonesia? Tidak, mereka cuma cari pasar di
negeri ini.Jadi, katanya, kalau kita ekspansi ke luar negeri, bukan melarikan
diri, tapi berupaya meraih yang lebih besar lagi dan siap dalam persaingan.
Tanoto
dinyatakan sebagai orang terkaya di Indonesia oleh majalah Forbes pada
September 2006.
Sukanto
Tanoto mengaku sosoknya mirip ibunya: tegas dan keras. Pernah suatu ketika
Sukanto kecil ngeluyur pergi ke tepi laut. Waktu pulang, ditanya oleh ibunya,
jawabnya mengarang-ngarang, Sukanto kecil dipukuli pakai rotan. “Saya paling
banyak makan rotan,” kenangnya tentang sosok sang ibu. Tapi, dengan sifat keras
dan tegas, termasuk dalam hal berbisnis, ia bisa menjadi salah seorang
pengusaha papan atas Indonesia, memimpin sejumlah perusahaan di bawah grup Raja
Garuda Mas Internasional.
Sebenarnya,
sejak kecil, Sukanto—yang pada usia 12 tahun sudah gemar membaca apa saja,
termasuk buku tentang revolusi Amerika dan Perang Dunia—bercita-cita jadi
dokter. “Kalau dulu saya meneruskan ke fakultas kedokteran, saya jadi dokter,”
ujarnya. Karena obsesi itu, sampai 1973-1974, ia masih senang pakai nama dokter
Sukanto.
Tapi,
saat baru 18 tahun, ayahnya, Amin Tanoto, sakit stroke. Sulung dari tujuh
bersaudara ini lalu mengambil alih tanggung jawab keluarga: meneruskan usaha
orangtua berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil. Pekerjaan yang tak
asing baginya karena sepulang sekolah ia biasa membantu orangtuanya sambil
membaca buku. Dan, dari situ Sukanto alias Tan Kang Hoo pertama kali belajar
keterampilan bisnis, termasuk menerima kenyataan dan tidak menyerah dalam
keadaan apa pun, serta mencari solusi.
Pindah
dari kota kelahirannya, Belawan, Sumatra Utara, ke Medan, ia juga berdagang
onderdil mobil, lalu mengubah usaha itu menjadi general contractor &
supplier. Suatu ketika, datang Sjam, seorang pejabat Pertamina dari Aceh.
“Waktu itu saya tidak tahu kalau dia pejabat,” kenang Sukanto. Ditawari kerja
sama pekerjaan kontraktor, “Ya, mau-mau saja, wong saya masih muda,” ujarnya.
Tak disia-diakan kesempatan itu, di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara, Sukanto
membangun rumah, memasang AC, pipa, traktor, dan membuat lapangan golf di
Prapat. “Itulah technical school saya,” katanya. Untuk mencari bahan bangunan,
ia sampai pergi Sumbawa, Lampung, pada usia 20 tahun.
Pandai
melihat peluang, waktu impor kayu lapis dari Singapura menghilang di pasaran,
di Medan ia mendirikan perusahaan kayu, CV Karya Pelita, 1972. “Negara kita
kaya kayu, mengapa kita mengimpor kayu lapis,” ujarnya. “Saya itu pioner,”
katanya. Di saat orang lain belum membuat kayu lapis, ia memproduksi kayu lapis
dan mengubah nama perusahaannya menjadi PT Raja Garuda Mas (RGM), dengan ia
sebagai direktur utama, 1973. Kayu lapis bermerek Polyplex itu diimpor ke
berbagai negara Pasaran Bersama Eropa, Inggris, dan Timur Tengah.
“Strategy
competition saya itu satu dua step sebelum orang mengerjakannya,” ungkapnya.
Ketika belum ada orang membuka perkebunan swasta besar-besaran, walaupun waktu
itu sudah ada perkebunan asing, di Sumatra, Sukanto membuka perkebunan kelapa
sawit secara besar-besaran.
“Setelah
itu baru kita bikin Indorayon,” tuturnya. PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang
bergerak di bidang reforestation menghasilkan pulp, kertas, dan rayon, serta
mampu memasok bibit unggul pohon pembuat pulp di dalam negeri. Kehadiran IIU
sempat ditentang masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Karena, ditengarai,
Danau Toba tercemar berat oleh limbah pulp. Akibatnya, IIU sempat ditutup.
Tapi,
Sukanto memetik hikmahnya: belajar dari kesalahan, agar tidak mengulangi
kesalahan yang sama. “Apa yang saya pelajari dari situ (Indorayon), lalu saya
pakai di Riau,” ujarnya. Di Riau, ia membuka Hutan Tanaman Industri dan
mendirikan pabrik pulp yang konon terbesar di dunia, PT Riau Pulp. Mulai
berdiri 1995, karena krisis, baru jadi pada 2001. Di sekitar pabriknya, bersama
lembaga swadaya masyarakat, Sukanto membuat program community development untuk
penduduk setempat. “Saya tidak kasih ikan, tapi saya ajari mancing, itu yang
kita kerjakan,” tuturnya. Antara lain, program community development:
penggemukan sapi, pembangunan jalan, dan pertanian. “Mimpi saya, kalau saya
dapat seratus pengusaha Riau itu jadi miliader, saya senang,” katanya lagi.
Usaha
Sukanto yang lain adalah bank. Ketika United City Bank mengalami kesulitan
keuangan, pada 1986-1987, ia mengambil alih mayoritas sahamnya dan bangkit
dengan nama baru: Unibank. Di Medan, ia pun merambah bidang properti, dengan
membangun Uni Plaza, kemudian Thamrin Plaza. Tidak hanya dalam negeri, ia
melebarkan sayap ke luar negeri, dengan ikut memiliki perkebunan kelapa sawit
National Development Corporation Guthrie di Mindanao, Filipina, dan electro
Magnetic di Singapura, serta pabrik kertas di Cina (yang kini sudah dijual
untuk memperbesar PT Riau Pulp). Sejak 1997, Sukanto memilih bermukim di
Singapura bersama keluarga dan mengambil kantor pusat di negeri itu. Obsesinya,
ingin jadi pengusaha Indonesia yang bersaing di arena global, minimal di Asia.
Tujuan utamanya, menurut dia, “Bagaimana kita bisa memanfaatkan keunggulan
kita, untuk bersaing, paling tidak di arena Asia.”
Kini,
selain bisnis, ia hendak menulis buku tentang bagaimana entreprenur menghadapi
krisis. “Yang mau saya lakukan itu adalah penelitian bagaimana pengusaha di
Eropa itu survive, pada First World War, Second World War. Bagaimana pengusaha
Amerika itu melewati krisis 1930. Bagaimana pengusaha-pengusaha di Cina, waktu
perubahan rezim, ketika komunis masuk, bagaimana mereka itu survive. Saya juga
akan mempelajari bagaimana pengusaha-pengusaha melalui Latin America krisis,
yang di Brasil,” tuturnya. “Apa krisis itu memunculkan bibit-bibit entreprenur
yang baru,” katanya lagi.
Sampai
sekarang Sukanto masih hobi baca buku. Buku apa saja, baik yang bisnis maupun
nonbisnis. “Setiap saya pergi, saya bawa buku,” katanya. “Kalau naik travel,
kalau tidak tidur, ya, baca,” katanya lagi. Manfaatnya, menurut dia, selain
untuk update pengetahuan, juga membantu sekali dalam binis dan kegiatan sosial
sehari-hari. Satu lagi, pria yang menguasai dua bahasa asing, Cina dan Inggris,
ini senang belajar. Ia pernah mengikuti kursus di Insead, Paris, di MIT, di
samping tetap jadi peserta Lembaga Pendidikan dan Pemibinaan Manajemen,
Jakarta. Sampai sekarang pun ia kadang mengambil cuti untuk mengikuti kursus
pendek. “Karir saya satu lagi: siswa profesional abadi,” katanya. Dua-tiga
minggu ia cuti untuk pergi ke Harvard, Tokyo, London School of Economic, untuk
meng-update pengetahuan. Terakhir, 2001 lalu, ia mengikuti Wharton Fellows
Program, Amerika, selama enam bulan, untuk belajar dotcom.
“Kalau
di bisnis, kunci sukses saya: think, act, learn, baca, dengar, lihat,” katanya.
“Kedua, kalau saya tidak tahu, saya tanya. Saya juga tidak merasa sungkan
menceritakan kegagalan saya,” ujarnya lagi. Selain itu, pegangannya: do the
right thing, do the thing right. Do the right thing diartikan sebagai suatu
pedoman pada pola manajemen. Do the thing right memiliki penekanan terhadap
pentingnya suatu action. “Prinsip saya, bisnis dan politik tak boleh campur,”
ujar pengagum pengusaha plastik dari Taiwan, Wai-Sze Wang, ini. “Tidak ada
proteksi. Bisnis, ya, bisnis,” katanya.
Menikah
dengan Tinah Bingei Tanoto, Sukanto kini ayah empat anak. Ia memberi
keleluasaan kepada anak-anaknya untuk memilih profesi. Olahraganya main
snowski. Sukanto suka mendengarkan musik klasik yang ringan.
Sekian, Terima kasih
Telah Membacanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar